Peristiwa sejarah bukan hadir dengan tiba-tiba di suatu masa dan berakhir pada masa itu pula. Suatu peristiwa tidak senantiasa ‘sekali berarti, dan setelah itu mati’, namun acap merupakan rangkaian peristiwa yang bersinambung. Peristiwa berikut sebagai kelanjutan atau hasil perubahan dalam rangka penyesuaian, atau bisa jadi dampak dari peristiwa terdahulu. Dalam konteks kesejarahan Sengguruh, tentunya tidak serta-merta hadir pusat pemerintahan kerajaan (kadatwan) di daerah ini. Ada sejumlah kalkulasi untuk memilih Sengguruh sebagai kadatwan, antara lain adanya sistem sosio-budaya teratur, yang secara bertahap dan berkelanjutan dibangun di Sengguruh dan sekitarnya sejak abad XII M. Pada akhir Kadiri (Panjalu), Kepanjen hingga daerah di selatannya menjadi basis perlawanan Jenggala di bawah pimpinan para Panji terhadap Panjalu. Terhitung sejak tahun 1035 M, berdasarkan informasi prasasti Hantang yang mencantumkan aksara kwadrat besar berbunyi ‘Panjalu Jayati’ (Kemenangan Panjulu), kawasan timur G. Kawi menjadi daerah pendudukan Panjalu.
Muncul resistensi (penolakan, penentangan) dari masyarakat di timur G. Kawi, yang memilih sikap berkoalisi dengan kerajaan Jenggala melawan Panjalu. Ken Angrok adalah salah seorang ‘Panji’ itu, yang menjadi motor penggerak dan sekaligus pimpinan perlawanan rakyat Jenggala di timur G. Kawi untuk membebaskan dari pendudukan Panjalu. Toponimi ‘Jenggolo’ yang kini menjadi nama desa yang bertetangga dengan Desa Sengguruh adalah indikator tentang itu. Toponimi ‘Kepanjen’, yang merupakan kata jadian ‘ka-Panji-an’, juga menjadi petunjuk bahwa daerah Malang Selatan dijadikan basis kekuatan Jenggala, sementara Panjalu menjadikan Malang Utara sebagai basis pendudukannya dengan pusat di Tumapel di bawah pimpinan akuwu Tunggul Ametung. Pustaka gancaran Pararaton dengan rinci menggambarkan keonaran di Malang bagian utara, tengah, dan timur yang diulahi Ken Angrok untuk menciptakan kondisi chaos (kacau) di wilayah pendudukan Panjalu ini.
Bagaimanakah gambaran Sengguruh pada pasca pemerintahan Panjalu? Sama halnya pada masa pemerintahan Kadiri dan awal Majapahit, gambaran tentangnya pada masa kerajaan Singhasari hanya samar-samar. Beruntung ditemukan sumber data epigrafi, yang berupa prasasti di Desa Kranggan – tidak jauh dari Sengguruh, yang berasal dari pemerintahan raja Wisnuwarddhana. Prasasti yang memuat penetapan status sima (perdikan) ini memberi kita informasi bahwa daerah di Sengguruh dan sekitarnya terbilang maju, sehingga layak menyandang status ‘swatantra’, yakni desa otonom, yang memperoleh anugerah hak istimewa untuk mengelola rumah tangga desanya sendiri.
Pasca Masa Hindu-Buddha, peran Sengguruh sebagai sentra peradaban tidak lantas musnah. Ketika terjadi ekspansi Demak ke Sengguruh (1545 M), Raden Pramana tidak ikut tewas, namun menyingkir ke Klungkung di Bali Selatan. Momentum ini menjadi titik awal Islamisasi di Malang Selatan. Mulai tahun 1545 Sengguruh ditempatkan di bawah kekuasaan Kasultanan Islam di Demak. Boleh jadi, Mataramisasi ke mancanegara wetan pada masa pemerintahan Sultan Agung tahun 1614 tidak hanya menundukkan Kutaraja (Kuto Bedah) di sekitar tempuran Brantas, Bango dan Amprong sebagai pusat pemerintahan Adipati Malang berama Ranggo Tohjiwo, melainkan juga menundukkan Sengguruh yang berlokasi di sekitar tempuran Brantas dan Metro. Semenjak itu Sengguruh masuk ke dalam wilayah kekuasaan Mataram. Ada persoalan yang butuh pemecahan, yakni adanya Ki Ageng Sengguruh yang dimakamkan di tepi aliran Brantas di Rejotangan. Bagaimanakah relasi historisnya dengan Sengguruh di Malang Selatan? Sayang informasi yang didapatkan hanya bersifat spekulatif, yakni seorang tokoh asal Sengguruh, yang karena suatu sebab eksodus ke daerah Blitar.
Data arkeologi Masa Perkembangan Islam di Sengguruh dan sekitarnya berupa makam Mbah Rekso beserta cungkup yang menaunginya. Belum jelas jati diri Mbah Rekso. Menilik unsur namanya, yakni ‘rekso’, tentulah bukan nama diri, melainkan nama sebutan, terkait perannya sebagai pelindung atau pemimpin (sing ngrekso) masyarakat Sengguruh masa lalu, yang boleh jadi di Masa Kasultanan Mataram. Juru piara makam menuturkan adanya tinggalan berupa busana, senjata keramat dan atribut dari Masa Kasultanan terkait dengan Mbah Rekso. Pada masa lebih kemudian, yakni Masa Hindia-Belanda, Sengguruh adalah salah sebuah diantara delapan distrik di Regent (Kabupaten) Malang, yang meliputi Kecamatan Kepanjen, Kalipare, Kromengan, Sumber Pucung dan Pakisaji. Penempatan pusat distrik di Sengguruh menjadi pembukti bahwa sebagai eks pusat pemerintahan kerajaan dan pusat peradaban lintas masa, secara sosio-kultural Sengguruh tetap diposisikan penting, setidaknya hingga abad ke-19. Sengguruh kini hanya ‘desa biasa’, yang jika dipandang penting, lantaran adanya bendungan terhulu di aliran Brantas, yang dinamai ‘Bendungan Sengguruh’.
Sumber: malang-post.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar