Daerah Sengguruh dan sekitarnya dua kali menjadi basis perlawanan, yaitu pada masa akhir kerajaan Kadiri (XII M) dan akhir Majapahit – sekaligus awal Kasultanan Islam (XVI M). Bukan tanpa pertimbangan untuk memilihnya sebagai basis perlawanan sekaligus pusat pemerintahan kerajaan. Salah satu pertimbangannya adalah secara ekologis daerah ini cocok untuk keperluan pertahanan. Bagi pertahanan-keamanan, daerah Kepanjen hingga Sengguruh memiliki geostrategis yang dibutuhkan oposan Jenggala dalam menghadapi tekanan militer kerajaan Panjalu. Kala itu, sub-kawasan selatan Malang relatif terisolir oleh aliran sungai, hutan dan lokasinya di lembah hingga lereng Pegunungan Kapur (Kendeng) Selatan. Keterisolirannya tersebut justru menjadi kalkulasi ekologis bagi kepentingan pertahanan-keamanan ketika kerajaan dalam situasi konflik.
Pertimbangan serupa kiranya juga menjadi alasan bagi kerajaan Sengguruh untuk menempatkan kadatwannya di kawasan Malang Selatan, mengingat bahwa kala itu ‘kantong-kantong kerajaan bercorak Hindu yang otomom’, semisal Sengguruh, berada dalam kondisi rawan lantaran ekspansi politik Kasultanan Demak ke penjuru wilayah Jawa Timur. Aliran kali Metro pada sekitar 200 m di sisi barat dan aliran bangawan Brantas pada sekitar 400 m di sisi selatan kadatwan Sengguruh dijadikan barier, yakni semacam ‘parit alam yang lebar dan curam’ dalam menghambat gerakkan lawan (pasukan Demak), khususnya yang datang dari arah barat (Balitar dan Mamenang). Untuk kepentingan perlidungan, areal dalam kadatwan Sengguruh juga dilindungi dengan dinding bata tebal dan tinggi, yang kini sisa reruntuhannya didapati di areal persawahan.
Berdasarkan jejak arkeologis yang didapatkan [meski cuma sedikit], yang antara lain berupa tiga umpak batu yang ornamentik, stuktur dinding memanjang timut-barat maupun sebaran bata kuno di persawahan sekitar situs Krapyak, ditambah lagi letaknya pada sekitar pertemuan (tempuran) Kali Metro (sisi barat) dan Brantas (sisi selatan), bisa jadi areal dalam (jeroan) kadatwan Sengguruh di tempat ini, yang kini masuk dalam wilayah Desa Jenggolo bagian selatan-barat. Desa yang sekarang bernama ‘Jenggolo’ itu, dulu berada dalam wilayah Sengguruh, bahkan menjadi pusat pemerintahan (kadatwan)nya. Lingkungan dalam (watek i jro) kadatwan Sengguruh kiranya mencapai areal makam Desa Jenggolo, padamana didapati jejak arkeologis yang terbilang banyak.
Hingga kini baik di Sengguruh maupun Jenggolo dijumpai persawahan berigasi yang luas. Konon pertanian menjadi pencaharian utama warga Sengguruh. Terdapat pula sejumlah sumber air (tuk), utamanya Sumber Songo dan Sumber Ubalan, yang didayagunakan sebagai pemasok air bersih bagi warga dalam (wargga i jro) di kadatwan Sengguruh. Sumber Songo yang airnya berlimpah hanya berjarak 300-an meter di selatan lokasi temuan data arkeologis pada makam Desa Jenggolo. Pada aliran Brantas maupun Metro di Jenggolo-Sengguruh tidak banyak didapati batu kali (andesit). Oleh karena itu dapat difahami bila komponen bangunan yang utama adalah bata ukuran besar yang dibakar dengan derajat panas tinggi. Penggunaan bata sesuai dengan kategori bangunan yang dibuat, yaitu bangunan profan berupa keraton dan kelengkapannya. Bahan-bahan bangunan lain, seperti kayu, genting, sirap, dsb. masih belum ditemukan, mungkin terpendam tanah atau kemungkinan rusak dan hancur atau terbakar ketika terjadi serangan pasukan Demak (1545 M). Lewat ekskavasi dimungkinkan data arsitektur dan perangkat hidup warga dalam Sengguruh bisa didapatkan.
[bersambung...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar