21 Maret 2015

Sengguruh, Kerajaan Otonom di Penghujung Masa Hindu-Buddha (1)

A. Petanda Akhir Masa Hindu-Buddha

Bilamana masa Hindu-Buddha berakhir? Banyak ahli menjadikan tarikh keruntuhan Majapahit sebagai petanda bagi akhir masa Hindu-Buddha. Jika benar demikian, 'bagaimana kerajaan Majapahit runtuh?' Ada dua eksponen pendapat, yaitu: (1) 1478 Masehi, (2) antara 1518 hingga 1521 Masehi. Pendapat pertama mendasarkan berita tradisi seperti Pararaton (hal. 229-230), Serat Kanda, Babad ing Sengkala dan Serat Darmagandul, yang menyatakan bahwa Majapahit runtuh lantaran serangan Demak pada pemerintahan Raden Patah. Tarikh keruntuhan dinyatakan Pararaton dengan menggunakan candrasangkala lombo berbunyi 'sirna (0) ilang (0) kreta (4) ning bhumi (1)', yang menunjuk tarikh Saka 1400 (1478 M).


Pendapat itu banyak yang meragukan kesahihannya, sebab baik sumber-sumber data epigrafi ataupun berita asing seperti berita Cina zaman Dinasti Ming (1368-1643 M.), berita Portugis dari Rui de Brito (1514 M), Tome Pires (1515 M) dan Antonio Pigafetta (1522 M) maupun berita Italia dari Duarte Barbarosa (1518 M,), memberi gambaran bahwa Majaphit masih eksis hingga cukup lama pasca 1478 M. Peristiwa tahun 1478 M itu bukanlah serangan Demak atas perintah Raden Patah terhadap Kerajaan Majapahit, melainkan serangan balas dendam dari Dhyah Ranawijaya (putera Bhre Pandan Salas) terhadap Bhre Kretabhumi yang sebelumnya berhasil menggusur Bhre Pandan Salas dari kadatwannya di Wilwatikta.

Pendapat kedua mengemukakan bahwa Majapahit baru mengalami keruntuhan antara tahun 1518 hingga 1521 M. Adipati Unus dari Demak menundukkan ‘kerajaan kafir’ yang dikuasai Pate Udara. Ketika Tome Pires melakukan pengembaraan dari Malaka ke Nusantara tahun 1515 M, kerajaan Majapahit masih ada. Pires menyatakan Pate Udara sebagai penguasa di Majapahit. Begitu pula menurut Duarte Barbarosa, tiga tahun berikutnya (1518 M) di Jawa masih ada kerajaan kafir, yang dikuasai oleh Pate Udara. Beda dengan Antonio Pigafetta, yang melaporkan bahwa pada tahun 1521 penguasa di Majapahit adalah Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Kala itu Majaphit hanya tinggal berupa sebuah kota diantara kota-kota besar lain di Jawa. Berita ini menghadirkan kesan bahwa pada tahun 1521 terjadi pergeseran politik di Majapahit dari Pate Udara penganut Hindu ke Adipati Unus yang beragama Islam. Informasi itu sejalan dengan berita Cina, yang mencatat bahwa hingga 1499 M masih berlangsung hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).

Sumber data epigrafi juga mengemukakan adanya raja Majapahit yang memerintah hingga pasca 1478 M, yaitu Ranawijaya. Ia mulai memerintah tahun 1474 M. Pada periode awal pemerintahannya, Ranawijaya didampingi rakryan apatih Pu Wahan, dan pada masa akhir pemerintahannya didampingi Patih Udara. Menurut Babad Tanah Jawi, Patih Udara adalah putera Patih Wahan. Tome Pires (1515 M) menyebutnya dengan logat Portugis sebagai ‘Pate Udara atau Pate Andura (Pate Amdura)’. Kendati hanya sebagai patih dan panglima, tetapi Udara memiiki kekuasaan amat besar. Ia dianggap seperti raja. Bisa jadi kedudukannya serupa dengan Patih Hamangkubhumi dalam masa keemasan Majapahit, yang ketika masa Tribhuanatunggadewi dan Hayam Wuruk dijabat oleh Gajahmada.


Pasca tahun 1478 M kendati kadatwan Majapahit berpindah dari Wilwatikta ke Daha, Kling dan kemudian di Kadiri serta terjadi alih dinasti dari Rajasavamsa ke Girindravamsa, namun sebagai kerajaan, kerajaan Majapahit eksis hingga tiga dasawarsa berikutnya. Walau Ranawijaya berhasil dikalahkan Adipati Unus, namun para penguasa bawahan (vassal)nya di penjuru Jawa Timur melanjutkan pemerintahannya, bahkan memposisikan diri sebagai kerajaan yang otonom dari kekuasaan Demak. Terlebih setelah kemangkatan Adipati Unus tahun 1521 M. Oleh karena itu, Sultan Trenggana (pengganti Adipati Unus) melakukan ‘penaklukkan ulang’. Dalam kurun waktu panjang (1525-1545 M), satu persatu kerajaan Hindu otonom di Wirasari, Gegelang, Medangkungan, Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Balitar, Wirasaba, kawasan Penanggungan, Mamenang dan Sengguruh ditaklukkan dan ditempatkan ke dalam kekuasaan Kasultanan Demak.


Jika benar bahwa keruntuhan Majapahit antara tahun 1518 hingga 1521 M merupakan petanda bagi akhir masa Hindu-Buddha, berarti setelah itu tak ada lagi kerajaan otonom yang berlatar Hindu atau Buddha di Jawa atau lebih luas lagi di Nusantara. Sebagai penggantinya, hadir Kasultanan Demak di Pantura Jawa dan kasultanan-kasultanan berlatar Islam lainnya di luar Jawa. Padahal kerajaan otonom Sengguruh yang berlatar Hindu baru ditaklukkan oleh Trenggana tahun 1545 M. Hal ini menjadi pembukti bahwa tahun 1518 hingga 1521 M bukan tarikh akhir bagi masa Hindu-Buddha, sebab hingga dua setengah dasawarsa berikutnya masih terdapat ‘kantong-kantong’ kerajaan otonom berlatar Hindu, sebuah diantaranya adalah Sengguruh (disebut juga ‘Tanjung Senggruh’) di sub-area selatan Malang.


Keberadaan kerajaan Sengguruh tidak banyak diketahui, tidak terkecuali oleh warga Malang Raya sendiri. Padahal, hal itu membanggakan warga Malang, sebab menambah deret panjang pusat pemerintahan kerajaan yang berlokasi di Malang Raya. Berturut-turut adalah kadatwan Kanjuruhan (abad VIII), Mataram masa pemerintahan Sindok (paro pertama abad X), Singhasari (abad XIII), vasal Majapahit di Tumapel dan Kabalon (abad XVI-XV), dan terakhir kerajaan Sengguruh (paro ke-2 abad XV hingga paro ke-1 abad XVI). Selain itu, menjadi ‘bukti legimitatif’ bagi Pemkab Malang untuk merelokasi pusat pemerintahannya ke Kepanjen. Sejarah membuktikan bahwa sub-area selatan Malang pernah menjadi basis kekuatan Jenggala (abad XII), kemudian menjadi kadatwan Sengguruh (abad XV-XVI). Toponimi ‘Kepanjen’ adalah kata jadian ‘ka-Panji-an’, yang mengindikasikan bahwa daerah ini konon merupakan tempat kedudukan para Panji, yakni ksatria sekaligus pimpinan satuan ketentaraan. Adapun toponimi ‘Jenggolo’, pada mana jejak artefaktual kerajaan Sengguruh ditemukan, turut menguatkan alibi itu.


[bersambung...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar