A. Petanda Akhir Masa Hindu-Buddha
Bilamana masa Hindu-Buddha berakhir? Banyak ahli menjadikan tarikh keruntuhan Majapahit sebagai petanda bagi akhir masa Hindu-Buddha. Jika benar demikian, 'bagaimana kerajaan Majapahit runtuh?' Ada dua eksponen pendapat, yaitu: (1) 1478 Masehi, (2) antara 1518 hingga 1521 Masehi. Pendapat pertama mendasarkan berita tradisi seperti Pararaton (hal. 229-230), Serat Kanda, Babad ing Sengkala dan Serat Darmagandul, yang menyatakan bahwa Majapahit runtuh lantaran serangan Demak pada pemerintahan Raden Patah. Tarikh keruntuhan dinyatakan Pararaton dengan menggunakan candrasangkala lombo berbunyi 'sirna (0) ilang (0) kreta (4) ning bhumi (1)', yang menunjuk tarikh Saka 1400 (1478 M).
Pendapat itu banyak yang meragukan kesahihannya,
sebab baik sumber-sumber data epigrafi ataupun berita asing seperti berita Cina
zaman Dinasti Ming (1368-1643 M.), berita Portugis dari Rui de Brito (1514 M),
Tome Pires (1515 M) dan Antonio Pigafetta (1522 M) maupun berita Italia dari
Duarte Barbarosa (1518 M,), memberi gambaran bahwa Majaphit masih eksis hingga
cukup lama pasca 1478 M. Peristiwa tahun 1478 M itu bukanlah serangan Demak
atas perintah Raden Patah terhadap Kerajaan Majapahit, melainkan serangan balas
dendam dari Dhyah Ranawijaya (putera Bhre Pandan Salas) terhadap Bhre Kretabhumi
yang sebelumnya berhasil menggusur Bhre Pandan Salas dari kadatwannya di
Wilwatikta.
Pendapat kedua mengemukakan bahwa Majapahit baru
mengalami keruntuhan antara tahun 1518 hingga 1521 M. Adipati Unus dari Demak
menundukkan ‘kerajaan kafir’ yang dikuasai Pate Udara. Ketika Tome Pires
melakukan pengembaraan dari Malaka ke Nusantara tahun 1515 M, kerajaan
Majapahit masih ada. Pires menyatakan Pate Udara sebagai penguasa di Majapahit.
Begitu pula menurut Duarte Barbarosa, tiga tahun berikutnya (1518 M) di Jawa
masih ada kerajaan kafir, yang dikuasai oleh Pate Udara. Beda dengan Antonio
Pigafetta, yang melaporkan bahwa pada tahun 1521 penguasa di Majapahit adalah
Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor). Kala itu Majaphit hanya tinggal berupa
sebuah kota diantara kota-kota besar lain di Jawa. Berita ini menghadirkan
kesan bahwa pada tahun 1521 terjadi pergeseran politik di Majapahit dari Pate
Udara penganut Hindu ke Adipati Unus yang beragama Islam. Informasi itu sejalan
dengan berita Cina, yang mencatat bahwa hingga 1499 M masih berlangsung
hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).
Sumber data epigrafi juga mengemukakan adanya raja
Majapahit yang memerintah hingga pasca 1478 M, yaitu Ranawijaya. Ia mulai
memerintah tahun 1474 M. Pada periode awal pemerintahannya, Ranawijaya
didampingi rakryan apatih Pu Wahan, dan pada masa akhir pemerintahannya
didampingi Patih Udara. Menurut Babad Tanah Jawi, Patih Udara adalah putera
Patih Wahan. Tome Pires (1515 M) menyebutnya dengan logat Portugis sebagai ‘Pate
Udara atau Pate Andura (Pate Amdura)’. Kendati hanya sebagai patih dan
panglima, tetapi Udara memiiki kekuasaan amat besar. Ia dianggap seperti raja.
Bisa jadi kedudukannya serupa dengan Patih Hamangkubhumi dalam masa keemasan
Majapahit, yang ketika masa Tribhuanatunggadewi dan Hayam Wuruk dijabat oleh
Gajahmada.
Pasca tahun 1478 M kendati kadatwan Majapahit
berpindah dari Wilwatikta ke Daha, Kling dan kemudian di Kadiri serta terjadi
alih dinasti dari Rajasavamsa ke Girindravamsa, namun sebagai kerajaan,
kerajaan Majapahit eksis hingga tiga dasawarsa berikutnya. Walau Ranawijaya
berhasil dikalahkan Adipati Unus, namun para penguasa bawahan (vassal)nya di
penjuru Jawa Timur melanjutkan pemerintahannya, bahkan memposisikan diri
sebagai kerajaan yang otonom dari kekuasaan Demak. Terlebih setelah kemangkatan
Adipati Unus tahun 1521 M. Oleh karena itu, Sultan Trenggana (pengganti Adipati
Unus) melakukan ‘penaklukkan ulang’. Dalam kurun waktu panjang (1525-1545 M),
satu persatu kerajaan Hindu otonom di Wirasari, Gegelang, Medangkungan,
Surabaya, Pasuruan, Lamongan, Balitar, Wirasaba, kawasan Penanggungan, Mamenang
dan Sengguruh ditaklukkan dan ditempatkan ke dalam kekuasaan Kasultanan Demak.
Jika benar bahwa keruntuhan Majapahit antara tahun
1518 hingga 1521 M merupakan petanda bagi akhir masa Hindu-Buddha, berarti
setelah itu tak ada lagi kerajaan otonom yang berlatar Hindu atau Buddha di
Jawa atau lebih luas lagi di Nusantara. Sebagai penggantinya, hadir Kasultanan
Demak di Pantura Jawa dan kasultanan-kasultanan berlatar Islam lainnya di luar
Jawa. Padahal kerajaan otonom Sengguruh yang berlatar Hindu baru ditaklukkan
oleh Trenggana tahun 1545 M. Hal ini menjadi pembukti bahwa tahun 1518 hingga
1521 M bukan tarikh akhir bagi masa Hindu-Buddha, sebab hingga dua setengah
dasawarsa berikutnya masih terdapat ‘kantong-kantong’ kerajaan otonom berlatar
Hindu, sebuah diantaranya adalah Sengguruh (disebut juga ‘Tanjung Senggruh’) di
sub-area selatan Malang.
Keberadaan kerajaan Sengguruh tidak banyak
diketahui, tidak terkecuali oleh warga Malang Raya sendiri. Padahal, hal itu
membanggakan warga Malang, sebab menambah deret panjang pusat pemerintahan
kerajaan yang berlokasi di Malang Raya. Berturut-turut adalah kadatwan
Kanjuruhan (abad VIII), Mataram masa pemerintahan Sindok (paro pertama abad X),
Singhasari (abad XIII), vasal Majapahit di Tumapel dan Kabalon (abad
XVI-XV), dan terakhir kerajaan Sengguruh (paro ke-2 abad XV hingga paro ke-1
abad XVI). Selain itu, menjadi ‘bukti legimitatif’ bagi Pemkab Malang untuk
merelokasi pusat pemerintahannya ke Kepanjen. Sejarah membuktikan bahwa
sub-area selatan Malang pernah menjadi basis kekuatan Jenggala (abad XII),
kemudian menjadi kadatwan Sengguruh (abad XV-XVI). Toponimi ‘Kepanjen’ adalah
kata jadian ‘ka-Panji-an’, yang mengindikasikan bahwa daerah ini konon
merupakan tempat kedudukan para Panji, yakni ksatria sekaligus pimpinan satuan
ketentaraan. Adapun toponimi ‘Jenggolo’, pada mana jejak artefaktual kerajaan Sengguruh
ditemukan, turut menguatkan alibi itu.
[bersambung...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar