B. Sumber dan Data Kerajaan Seungguruh
Sumber data tekstual yang memberitakan tentang kerajaan Sengguruh sangat terbatas. Serat Kanda hanya memuat sekilas tentang Sengguruh dan Pa(-malang). Begitu pula Babad Sengkala. Informasi cukup rinci justru di dapat dalam legenda lokal “Sengguruh dan Gibik” (Codex Lor No. 3035), yang termaktub dalam buku berseri (4 jilid) karya Th. G. Th. Pigeaud, terbit 1967-1980, dengan judul ‘Literature of Java’. Kedua tradisi lisan (oral traditions) itu saling kait. Apabila pemberitaannya berupa tradisi lisan, maka pertanyaannya adalah ‘apakah kerajaan Sengguruh fiksi atau faktual adanya?’. Sayang sekali riset arkeologis dan historis terhadapnya sejauh ini amat kurang, sehingga kerajaan Sengguruh masih dalam keremangan sejarah, bahkan nyaris merupakan misteri masa lampau. Beruntung sejak tahun 1990-an ada upaya untuk menelisik sumber-sumber data lain, diantaranya sumber data arkeologis (artefak-tual) dan ekofaktual guna mencerahkan dan membuktikan bahwa kerajaan Sengguruh bukan sekedar legenda, melainkan faktual adanya.
Tradisi lisan atau sejarah lisan mengisahkan bahwa bersama dengan Tigang Juru dan Blambangan, Sengguruh merupakan kantong kerajaan bercorak Hindu terkhir di Jawa. Ketika daerah-daerah lain di Jawa Timur telah berhasil di-Islamkan oleh Demak, ketiganya mempertahankan diri sebagai kerajaan otonom. Sengguruh baru berhasil ditundukkan oleh Trenggono dari Demak tahun 1545 M. Padahal menurut H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Pasurun (Gamda) yang diperintah Pate Sepetat telah berhasil dikalahkan tahun 1435 M, menyusul Balitar tahun 1542 M, kemudian Mamenang tahun 1544 M. Penguasa Sengguruh bernama Raden Pramana, putera patih Majapahit bernama Udara (Guste Pate), yang mendampingi Ranawijaya dan berkedaton di Kediri. Pramana bersaudara ipar dengan raja Gamda.
Nama “Sengguruh” mengingatkan kepada sebuah desa, yang berlokasi sekitar 5 km di selatan Kepanjen, yang dilintasi oleh Bangawan Brantas dan Kali Metro. Graaf dan Pigeaud melokasikannya di hulu Brantas, pada bagian selatan Malang. Ketika Masa Hindia-Belanda, Sengguruh bahkan menjadi nama salah sebuah distrik di dalam wilayah Regent (Kabupaten) Malang. Bertetangga dengan Senggruh adalah Desa Jenggolo. Toponimi ’Jenggolo’ mengingatkan kepada kerajaan Jenggala, yang terlibat perang saudara panjang dengan Panjalu (Kadiri). Kisah perseteruan kedua kerajaan ini serta upaya mendamaikannya lewat ’kekuatan cinta’ menjadi tema sentral dalam ragam cerita Panji.
Toponimi ‘Jenggolo’ bisa direlasikan dengan ‘Kepanjen’. Bisa jadi pada akhir pemerintahan Kadiri (paro ke-2 abad XII M) wilayah Malang Selatan menjadi basis perlawanan Jenggala terhadap Panjalu, atau tempat keberadaan para Panji, yakni ksatria dan sekaligus pimpinan satuan ketentaraan, setelah pusat pemerintahan Jenggala terdahulu di kawasan apit aliran Brantas-Bengawan Solo direlokasi ke ‘delta’ Sidoarjo, lantas ke timur G. Kawi. Pada masa Singhasari, tepatnya masa pemerintahan Wisnuwardhana, ada suatu daerah di sekitar Sengguruh yang menyandang status perdikan (sima), sebagaimana diberitakan dalam prasasti yang ditemukan di Desa Kranggan (OV, 1926: 98, dst.), tidak jauh dari Desa Sengguruh. Hal ini menunjukkan bahwa tidak serta merta sub-area selatan Malang tampil ke muka sebagai pusat pemeritahan (kadatwan) pada akhir masa Majapahit (XV-XVI M.), mengingat bahwa sejak masa akhir Jenggala (XII M.) dan Singhasari (XIII M.) di sini telah terdapat sistem sosio-budaya teratur dan terbilang maju pada jamannya.
Kerajaan Sengguruh terbilang kuat. Hal itu terbukti dalam dua hal. Pertama, kerajaan Sengguruh baru berhasil ditaklukkan Demak tahun 1545 M, setelah sebagian besar penguasa otonom bercorak Hindu di Jawa Timur berhasil ditundukkan. Kedua, tradisi lokal mengkisahkan bahwa untuk beberapa lama Sengguruh berhasil menduduki Giri, yang kala itu menjadi basis kekuasaan Islam terbesar di Jawa Timur. Pasukan Giri dibawah pimpinan Jagapati tidak kuasa menghentikan serangan Sengguruh. Sunan Dalem meninggalkan Giri Kedaton menuju ke kediaman pamannya, Syeh Manganti (Syeh Koja) di Gumena--yang kala itu diperintah oleh Ki Dang Palih. Sebelum menyerang Giri, pasukan Sengguruh menyerang sekelompok kecil Cina Muslim di bawah pimpinan Panji Laras dan Panji Liris di dekat Lamongan. Pendudukan atas Giri diakhiri setelah Demak mengalahkan Pasuruan (1535 M), sebab dengan demikian akses Sengguruh-Giri terpotong di tengah oleh pengusaan Demak atas Pasuruan. Legenda lokal mengkisahkan bahwa ketika bala tentara Sengguruh membuka dan merusak makam Sunan Satmata, sekoyong-konyong sekawanan lebah keluar dari dalam makam dan lantas mengusur pasukan Sengguruh dari Giri Kedaton.
Penaklukkan atas Pasuruan (1535 M), Balitar (1541/42 M) dan Mamenang (1544 M) meratakan jalan untuk menyerang Sengguruh dari arah barat dan utara. Serangan dari utara memperoleh bala bantuan dari Gribik atau Ngibik. Hal ini dapat dipahami, sebab pemimpin di Gribik beralih memeluk Islam berkat jasa Syeh Manganti, paman Sunan Giri. Seperti biasanya cerita yang demikian acapkali tidak menyebut waktunya. Namun dengan membandingkan daerah-daerah pedalaman lain, seperti Singkal di Kediri, Tembayat di Klaten, Pasir di barat daya Tanah Jawa, ada kemungkinan masa berlangsungnya sekitar tahun 1500. Kala itu pada daerah-daerah tertentu di pedalaman Jawa telah terbentuk kelompok-kelompok Islam berkat pengaruh orang-orang alim dari Pantura Jawa. Penempatan murid Syeh Manganti di Gribik dimaksudkan untuk mengontrol kantong kerajaan Hindu terkhir di Sengguruh. Tokoh legendaris dan sekaligus keramat, yang disemayamkan di kompleks makam Gibik pada lembah barat Bukit Buring (nama lama ‘Gunung Malang’), yang oleh warga Malang dipredikati ‘Ki Ageng Gribik’ adalah pionir Islamisasi di Malang Raya periode awal. Besar kemungkinan Gribik sama dengan ‘Pa(-malang)’, yang diberitakan dalam Serat Kanda, mengingat Gribik berada di lembah sisi barat G. Malang (Buring).
[bersambung...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar